Bersyukur atas Nikmat Allah
Allah Ta’ala berfirman:
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. An Nahl: 83)
Makna ayat :
Setiap hamba wajib untuk menyadari bahwa setiap kenikmataan datangnya hanyalah dari Allah ‘Azza wa Jalla. Dan kesempurnaan tauhid tidaklah dapat dicapai kecuali bila telah menyandarkan segala nikmat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Menyandarkan nikmat kepada selain Allah adalah wujud nyata dari kekurangan dalam pengamalan tauhid, dan merupakan syirik kecil kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan kenikmatan apa saja yang ada pada kalian, maka dari Allah lah (datangnya).” (QS. An Nahl: 53)
Mujahid rahimahullah menerangkan ayat ini dengan berkata, ”Yaitu perkataan seseorang: ‘ini adalah hartaku yang kuwarisi dari bapak-bapakku’.”
Ungkapan ini mengurangi kesempurnaan tauhid, dan termasuk syirik karena ia telah menisbatkan harta tersebut kepada dirinya dan bapak-bapaknya. Sejatinya harta ini adalah kenikmatan yang Allah berikan kepada bapaknya, kemudian Allah melanjutkan nikmat itu kepada orang mukmin tersebut, sehingga ia mendapat bagian warisan. Ini semua adalah bagian dari rahmat Allah dan nikmatNya, sedangkan bapaknya hanyalah sebagai perantara sampainya harta tersebut kepadanya.
Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi orang tua, atau pemilik harta untuk membagi harta warisan sekehendak hatinya, karena pada hakekatnya harta bukanlah miliknya.
‘Aun bin Abdullah menuturkan, “Mereka mengatakan: seandainya bukan karena si Fulan, niscaya tidak akan terjadi demikian.” Juga seperti ungkapan orang, ”kalau bukan karena si pilot pesawat, niscaya kita akan binasa”, dan ungkapan serupa dengannya yang terkandung di dalamnya bentuk menggantungkan sesuatu kejadian kepada perantara-perantara tersebut, baik berupa manusia, benda mati, atau makhluk lainnya, seperti hujan, air atau udara….dst
Ibnu Qutaibah menuturkan,”Mereka mengatakan: ini semua berkat syafa’at sesembahan kami”. Maksudnya bila mereka mendapatkan kenikmatan, mereka ingat bahwa sebelumnya mereka telah menghadap kepada wali, nabi, patung atau berhala. Datangnya kenikmatan ini menjadikan mereka menyembah para wali, yaitu dengan cara mengucapkan: Sesembahan kami telah memberikan syafa’at kepada kami, oleh karena itu kami mendapatkan kebaikan ini.
Mereka selalu mengingat-ingat sesembahan tersebut, dan melupakan Allah yang telah melimpahkan karunia tersebut kepada meraka. Sesungguhnya Allah tidak menerima syafa’at syirik yang mereka sebut-sebut tersebut.
Kenikmatan Allah kepada kita begitu banyak, dan tidak ada batasnya, sehingga sudah sepantasnya pula setiap kenikmatan hanya disandarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan hanya Allah yang disebut dan disyukuri atasnya. Karena tahap pertama dari mensyukuri nikmat adalah menyandarkan kenikmatan tersebut kepada yang memberinya, sebagaimana ditegaskan pada firman Allah Ta’ala:
“Adapun dengan nikmat Rabb-mu, maka hendaklah engkau sebut-sebut.” (QS. Adh dhuha: 11)
Menyebut-nyebut nikmat Allah yaitu dengan mengatakan “Aku mendapat kenikmatan ini adalah karena kemurahan Allah, ini adalah nikmat dari Allah.”
Bila hati seseorang telah bergantung kepada makhluk, sehingga kepadanya ia menyandarkan kenikmatan, maka ia telah berbuat kesyirikan dalam hal ini, dan tentunya akan mengurangi kesempurnaan tauhid.
Sumber : WanitaSalihah.com, Syarah Kitab Tauhid Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar